Rabu, 31 Januari 2018

Hadits Tentang Sholat Tahiyatul Masjid

Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits shalat tahiyatul masjid berikut.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ « أَصَلَّيْتَ يَا فُلاَنُ » . قَالَ لاَ . قَالَ « قُمْ فَارْكَعْ »
“Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata, ada seseorang yang datang dan saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah pada hari Jum’at. Nabi bertanya padanya (di tengah-tengah khutbah), “Apakah engkau sudah shalat wahai fulan?” “Belum”, jawabnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memerintahkan, “Berdirilah, shalatlah.” (HR. Bukhari no. 930)
Dalam riwayat lain disebutkan,
فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
Lakukanlah shalat dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 931)
Imam Bukhari membawakan judul Bab untuk riwayat terakhir,
باب مَنْ جَاءَ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ
Bab: Siapa yang datang dan imam sedang berkhutbah, lakukanlah shalat dua raka’at ringan.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan riwayat berikut,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِىُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُ فَجَلَسَ فَقَالَ لَهُ « يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ».
“Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata, Sulaik Al-Ghathafani datang pada hari Jum’at dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah, lantas Sulaik masuk masjid lalu langsung duduk.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah khutbah berkata padanya, “Wahai Sulaik, berdirilah, lakukanlah shalat dua raka’at. Kerjakanlah sekedar yang wajib saja dalam dua raka’at tersebut. Kemudian ia berkata, “Jika salah seorang di antara kalian datang pada hari Jum’at dan imam sedang berkhutbah, maka lakukanlah shalat dua raka’at. Namun cukupkanlah dengan yang wajib saja (ringkaslah, pen.).” (HR. Muslim no. 875)

Faedah yang bisa diambil hadits di atas:

  1. Jika seseorang masuk masjid dan imam sedang berkhutbah, tetap disunnahkan mengerjakan shalat tahiyatul masjid dan dimakruhkan langsung duduk tanpa mengerjakan shalat tersebut.
  2. Shalat tahiyatul masjid saat imam sedang khutbah hendaklah diperingkas, mencukupkan dengan yang wajib saja agar bisa mendengar khutbah dengan sempurna.
  3. Boleh imam berbicara ketika khutbah ketika ada hajat atau keperluan.
  4. Boleh melakukan amar ma’ruf nahi mungkar oleh imam saat khutbah.
  5. Setiap waktu, keadaan dan tempat tetap ada bentuk mengajak pada kebaikan.
  6. Shalat tahiyatul masjid itu dua raka’at.
  7. Shalat sunnah di siang hari itu dengan dua raka’at.
  8. Shalat tahiyatul masjid tidaklah gugur bagi orang yang langsung duduk karena tidak mengetahui perintahnya. Tidak gugurnya tadi selama duduknya masih sebentar.
  9. Shalat tahiyatul masjid tetap ada meskipun di waktu terlarang untuk shalat. Shalat tahiyatul masjid adalah shalat yang memiliki sebab dan dibolehkan setiap waktu selama sebabnya itu ada. Dalam keadaan imam berkhutbah padahal diperintahkan para jamaah yang hadir untuk diam, namun shalat tahiyatul masjid tetap disyari’atkan. Itu tanda bahwa shalat tahiyatul masjid tetap boleh dikerjakan meskipun di waktu terlarang.
  10. Diperintahkan untuk mendengar khutbah.
  11. Khatib boleh menjelaskan hukum yang urgent saat khutbah.
  12. Shalat tahiyatul masjid sangat ditekankan untuk dikerjakan. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 6: 147-148 dan Fath Al-Bari, 2: 412)
  13. Hadits yang kita kaji menunjukkan bahwa boleh khatib berbicara pada Khutbah Jum’at dengan jama’ah jika memang dalam keadaan butuh atau ada maslahat. Seperti khatib mengingkari orang yang melangkahi pundak orang lain, mengingkari mengganggu atau membuat kegaduhan, mengingatkan orang yang belum shalat tahiyyatul masjid, menyuruh memperbaiki sound system, menyuruh menyalakan kipas ketika keadaan begitu panas, atau keadaan yang lainnya yang dalam keadaan darurat diperlukan, wallahu a’lam. (Minhah Al-‘Allam, 4: 45)
Semoga bermanfaat.

Referensi:

Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan keempat, tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Thiybah.
Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan ketiga, tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 24 Muharram 1437 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com

Waktu-waktu Terlarang Untuk Sholat

Ada lima waktu terlarang untuk shalat.
Ini butuh dipahami supaya kita tidak melakukan shalat di sembarang waktu.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
Tidak ada shalat setelah shalat Shubuh sampai matahari meninggi dan tidak ada shalat setelah shalat ‘Ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Bukhari, no. 586 dan Muslim, no. 827)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّىَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat atau untuk menguburkan orang yang mati di antara kami yaitu: (1) ketika matahari terbit (menyembur) sampai meninggi, (2) ketika matahari di atas kepala hingga tergelincir ke barat, (3) ketika matahari  akan tenggelam hingga tenggelam sempurna.”  (HR. Muslim, no. 831)

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Para ulama sepakat untuk shalat yang tidak punya sebab tidak boleh dilakukan di waktu terlarang tersebut. Para ulama sepakat masih boleh mengerjakan shalat wajib yang ada’an (yang masih dikerjakan di waktunya, pen.) di waktu tersebut.
Para ulama berselisih pendapat mengenai shalat sunnah yang punya sebab apakah boleh dilakukan di waktu tersebut seperti shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur, shalat ‘ied, shalat kusuf (gerhana), shalat jenazah dan mengqadha shalat yang luput. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat yang masih punya sebab tadi masih boleh dikerjakan di waktu terlarang. …
Di antara dalil ulama Syafi’iyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqadha shalat sunnah Zhuhur setelah shalat ‘Ashar. Berarti mengqadha shalat sunnah yang luput, shalat yang masih ada waktunya, shalat wajib yang diqadha masih boleh dikerjakan di waktu terlarang, termasuk juga untuk shalat jenazah.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 100)

Waktu terlarang untuk shalat ada lima:

  • Dari shalat Shubuh hingga terbit matahari terbit.
  • Dari matahari terbit hingga matahari meninggi (kira-kira 15 menit setelah matahari terbit).
  • Ketika matahari di atas kepala tidak condong ke timur atau ke barat hingga matahari tergelincir ke barat.
  • Dari shalat Ashar hingga mulai tenggelam.
  • Dari matahari mulai tenggelam hingga tenggelam sempurna. (Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2: 205)
Dari kesimpulan Imam Nawawi di atas, waktu terlarang untuk shalat hanya berlaku untuk shalat sunnah mutlak yang tidak punya sebab, sedangkan yang punya sebab masih dibolehkan.

Bacaan Saat Rukuk dan Sujud Serta Faedahnya

Ada mungkin yang belum menghafal bacaan ini saat rukuk dan sujud. Ada faedahnya pula yang terkandung di dalamnya.

Riyadhus Sholihin, Kitab Al-Adzkar, Bab Keutamaan Dzikir dan Dorongan untuk Berdzikir


Hadits #1425

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُكْثِرُ أَنْ يَقُوْلَ فِي رُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ : (( سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak membaca saat rukuk dan sujud ‘SUBHAANAKALLOHUMMA ROBBANAA WA BIHAMDIKA ALLOHUMMAGH-FIRLII (artinya: Mahasuci Engkau, Ya Allah, Rabb kami, dengan memuji-Mu, Ya Allah, ampunilah aku).’” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 817 dan Muslim, no. 484]

Penjelasan:

1- Makna tasbih adalah tanzih, yaitu menyucikan. Sehingga makna “Subhanallah” adalah Mahasuci Allah artinya menyucikan Allah dari berbagai sifat kekurangan.
2- Makna “wa bihamdika” adalah segala pujian untuk-Mu, yaitu karena bisa menyucikan Allah, kita memuji Allah. Maksudnya di sini karena taufik, hidayah dan karunia dari Allah untuk bisa bertasbih kepada-Nya, maka kita memuji-Nya. Hal itu dilakukan bukan karena daya dan kekuatan kita, namun semata-mata pertolongan Allah.
3- Atas nikmat Allah, kita bisa bertasbih, maka kita diperintahkan untuk bersyukur kepada-Nya.
4- Kita harus menyandarkan setiap urusan pada Allah karena segala ketentuan di tangan Allah.
5- Dianjurkan berdoa dengan bacaan doa dan dzikir semacam ini ketika rukuk dan sujud, dan boleh merutinkannya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
6- Ada keutamaan berdoa ketika rukuk dan sujud, asalkan doa tersebut tidak dengan kalam manusia.
Dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya ketika ia menjawab ucapan orang yang bersin dengan menyebut “yarhamukallah” lalu orang-orang pada memandanginya,
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
Ingatlah shalat itu tidak pantas di dalamnya terdapat perkataan manusia. Shalat itu hanya tasbih, takbir dan bacaan Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537)
8- Anjuran membaca “SUBHAANAKALLOHUMMA ROBBANAA WA BIHAMDIKA ALLOHUMMAGH-FIRLII” sebagai realisasi (ta’wil) ayat,
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”  (QS. An-Nashr: 3)
9- Doa ini mengajarkan sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali membaca bacaan tersebut yang berisi doa meminta ampun pada Allah.

Hadits #1426

وَعَنْهَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَقُوْلُ فِي رُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ :(( سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الملاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ )) . رَوَاهُ مُسْلِمٌ .
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rukuk dan sujudnya mengucapkan, “SUBBUHUN QUDDUS ROBBUL MALAAIKATI WAR-RUUH (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabb para malaikat dan Ar-Ruh [Jibril]).” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 487]

Penjelasan:

  1. Makna “subbuhun” adalah menyucikan Allah dari sifat-sifat kekurangan dan menyucikan-Nya dari sekutu serta segala sesuatu yang tidak layak mendapatkan sifat ilahiyah.
  2. Makna “quddus” adalah membersihkan dari segala sifat yang tidak pantas disematkan pada Sang Khaliq.
  3. Ar-Ruh adalah malaikat Jibril.
  4. Dianjurkan berdoa dengan bacaan doa dan dzikir semacam ini ketika rukuk dan sujud.
  5. Bolehnya membaca ucapan tasbih saat sujud, berbeda dengan yang meyakini kekhususannya untuk berdoa saja.
  6. Dianjurkan berdoa kepada Allah dengan menyebut sifat-sifatnya yang mulia.
  7. Allah itu Rabb semesta alam. Dalam bacaan di atas dikhususkan Rabb malaikat karena malaikat adalah makhluk Allah yang besar, paling taat pada Allah dan terus menerus beribadah kepada-Nya. Lalu disebutkan malaikat Jibril (ar-ruh) karena ia adalah malaikat yang paling mulia.

Referensi:

  1. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm. 4:180; 4:183.
  2. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:454-455.
  3. Kunuz Riyadh Ash-Shalihin. Penerbit Dar Kunuz Isy-biliyya. 17:94-107.

Disusun di Pesantren Darush Sholihin, Kamis siang, 20  Shafar 1439 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com

Tata Cara Sholat Bagi Wanita

Yang jelas cara shalat wanita asalnya sama dengan pria. Ia diperintahkan mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalatnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari, no. 631)

Cara shalat yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum adalah sebagai berikut.

1- Menghadap kiblat (Ka’bah) dengan berdiri menghadap kepada sutroh. Sutroh adalah sesuatu yang diletakkan di depan orang yang shalat untuk menghalangi orang yang akan melewatinya dan hanya membatasinya pandangannya pada sebatas tempat itu saja tidak di balik itu.
2- Menghadirkan dalam hati niat shalat yang akan dilaksanakan dan ditentukan (di-ta’yin) shalatnya.
3- Mengangkat tangan sejajar pundak atau sejajar telinga sambil mengucapkan “ALLAHU AKBAR”.
4- Bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada dada dan memandang pada tempat sujud.
5- Membuka shalat dengan membaca doa iftitah.
Contoh doa iftitah (istiftah), “SUBHAANAKALLAHUMMA WA BI HAMDIKA WA TABAAROKASMUKA WA TA’ALA JADDUKA WA LAA ILAHA GHOIRUK (artinya: Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah Nama-Mu. Maha tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.” (HR. Muslim no. 399, Abu Daud no. 775, Tirmidzi no. 242, Ibnu Majah no. 804)
Bacaa lainnya, “ALLAHUMMA BAA’ID BAYNII WA BAYNA KHOTHOYAAYA KAMAA BAA’ADTA BAYNAL MASYRIQI WAL MAGHRIB. ALLAHUMMA NAQQINII MIN KHOTHOYAAYA KAMAA YUNAQQOTS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANAS. ALLAHUMMAGH-SILNII MIN KHOTHOYAAYA BIL MAA-I WATS TSALJI WAL BAROD (artinya: Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun).” (HR. Bukhari no. 744, Muslim no. 598, An Nasai no. 896, lafaznya adalah dari An-Nasa’i)
6- Membawa ta’awudz.
Contoh bacaan ta’awud, “A’UDZU BILLAHIS SAMII’IL ‘ALIIM, MINASY SYAITHOONIR ROJIIM MIN HAMZIHI WA NAF-KHIHI WA NAFTSIH (artinya: aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui dari gangguan syaitan yang terkutuk, dari kegilaannya, kesombongannya, dan nyanyiannya yang tercela).” (HR. Abu Daud no. 775 dan Tirmidzi no. 242. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan sanad hadits ini hasan.)
7- Membaca “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM”. Cara membacanya, sebagian ulama berpendapat dijaherkan, sebagian yang lain mengatakan dilirihkan (sirr).
8- Membaca surat Al-Fatihah ayat demi ayat dan di akhir membaca “AAMIIN”.
9- Membaca surat lain setelah Al-Fatihah.
10- Setelah membaca surat, hendaklah diam sejenak kemudian mengangkat tangan, lalu bertakbir kemudian turun ruku’.
11- Meletakkan tangan pada lutut, kemudian jari-jari tangan direnggangkan, lalu tangan menggenggam lutut dan punggung dalam keadaan lurus, serta kepala tidak terlalu turun dan tidak terlalu diangkat.
12- Thuma’ninah ketika ruku’ lalu saat ruku’ membaca, “SUBHANAA ROBBIYAL ‘AZHIM (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung)” sebanyak tiga kali.
13- Mengangkat badan dari ruku’ sambil mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dan mengangkat tangan. Kemudian saat i’tidal mengucapkan, “ROBBANAA WA LAKAL HAMDU”.
14- Kemudian turun untuk sujud bisa dengan tangan dahulu baru lutut atau lutut dahulu baru tangan, dan turunnya tanpa mengangkat tangan.
15- Sujud dengan menempelkan tujuh anggota tubuh yaitu (1) dahi dan hidung, (2,3) kedua telapak tangan, (4,5) kedua lutut, (6,7) kedua ujung kaki. Thuma’ninah ketika sujud dan membaca, “SUBHANAA ROBBIYAL A’LAA (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi)” sebanyak tiga kali.
Catatan: Dalam madzhab Syafi’i, tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan dalam cara mengerjakan shalat kecuali wanita disunnahkan untuk merapatkan anggota tubuhnya dengan lainnya atau menghimpitkan antara perut dan pahanya saat sujud.
16- Lalu bangkit dengan bertakbir untuk duduk dengan cara duduk iftirosy (kaki kanan ditegakkan, kaki kiri diduduki), lalu membaca “ROBBIGHFIR-LII, ROBBIGHFIR-LII”.
17- Bertakbir lalu melakukan sujud kedua.
18- Kemudian bangkit sambil bertakbir dengan duduk istirahat terlebih dahulu (duduk iftirosy sejenak), lalu berdiri ke rakaat kedua.
19- Mengerjakan rakaat kedua sama dengan rakaat pertama.
20- Sampai pada rakaat kedua, lalu duduk untuk tasyahud awwal atau tasyahud akhir.
Duduk pada tasyahud awwal yaitu dengan duduk iftirosy. Sedangkan duduk pada tasyahud akhir yaitu dengan duduk tawarruk. Termasuk pula duduk pada shalat yang hanya dua raka’at, duduk tasyahud akhirnya adalah dengan tawarruk.
Saat duduk membentangkan jari tangan kiri di paha kiri, lalu meletakkan tangan kanan di paha kanan di mana seluruh jari digenggam kecuali jari telunjuk. Lalu berisyarat dengan jari telunjuk, sedangkan jari jempol dan jari tengah membentuk lingkaran.
Berisyarat dengan jari telunjuk dimulai dari ucapan “ILLALLAH” dari ucapan syahadat, berisyarat tadi sampai salam.
21- Membaca bacaan tasyahud, lalu bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ketika berada di tasyahud akhir menambahkan doa sesuai yang diinginkan.
Bacaan tahiyat sebagai berikut.
“AT TAHIYYAATUL MUBAAROKAATUSH SHOLAWAATUTH THOYYIBAAT LILLAH. ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BAROKAATUH. ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAHISH SHOLIHIIN. ASYHADU ALLA ILAAHA ILLALLAAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA ROSUULUH (artinya: Segala ucapan selamat, keberkahan, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya)” (HR. Muslim no. 403).
Bacaan shalawat ibrahimiyyah sebagai berikut.
ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIM WA ‘ALA AALI IBROHIM, INNAKA HAMIDUN MAJIID. ALLAHUMMA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROHIM WA ‘ALA AALI IBROHIMM INNAKA HAMIDUN MAJIID (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, semoga berkah tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh).
Lalu membaca doa berlindung dari empat hal:
“ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAM, WA MIN ‘ADZABIL QOBRI, WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT, WA MIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAAL” (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari kejahatan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal).” (HR. Muslim, no. 588)
22- Kalau masih ada kewajiban setelah tasyahud awwal, maka mengerjakan rakaat yang tersisa.
23- Mengucapkan salam ke kanan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” lalu salam ke kiri begitu pula.
24- Dianjurkan membaca dzikir bada shalat, lalu berdoa kepada Allah setelah berdzikir.
Semoga bermanfaat.

Referensi:

  1. Fiqh As-Sunnah li An-Nisaa’. Cetakan, Tahun 1422 H. Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Penerbit Al-Maktabah At-Taufiqiyyah.
  2. Panduan Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Muhammad Abduh Tuasikal. Penerbit Rumaysho. (Akan terbit insya Allah)

Diselesaikan di Jakarta (perjalanan Kemang Raya – Soeta), 24 Shafar 1439 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com

Posisi Kaki Saat Sujud Dalam Shalat

Apakah kedua kaki dirapatkan atau direnggangkan saat sujud?
Ada hadits dari Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata mengenai sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَىْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ
“Ketika sujud, ia merenggangkan kedua pahanya dan menjauhkan perut dari pahanya.” (HR. Abu Daud, no. 735. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, no. 358, 2:80, menyatakan bahwa hadits ini dha’if. Sedangkan Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Yang dimaksud membuka pahanya adalah merenggangkan (membuka) pula lutut dan kakinya. Kata Imam Asy-Syaukani rahimahullah, dalil di atas menunjukkan dianjurkannya membuka paha ketika sujud dan tidak mendekatkan perut dan paha. Seperti ini tidak ada beda pendapat. Demikian kata beliau dalam Nail Al-Authar, 3:204.
Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa disunnahkan merenggangkan dua lutut dan kakinya saat sujud. Membuka yang dimaksud menurut ulama Syafi’iyah adalah sejarak satu jengkal. Lihat bahasan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’, 3:282.
Sedangkan ulama lainnya menyatakan bahwa yang disunnahkan adalah merapatkan kedua kaki saat sujud. Yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahumallah. Mereka yang berpendapat seperti ini berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي ، فَوَجَدْتُهُ سَاجِداً ، رَاصّاً عَقِبَيْهِ ، مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ القِبْلَةِ ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ :
“Aku mencari-cari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebelumnya beliau bersamaku di ranjangku, ternyata aku dapati beliau dalam keadaan bersujud dengan menempelkan kedua tumitnya sementara ujung jari jemari kakinya dihadapkan ke arah kiblat. Aku mendengar beliau membaca,
أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ ، وَبِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ ، وَبِكَ مِنْكَ ، أُثْنِي عَلَيْكَ ، لاَ أُبَلِّغُ كُلَّ مَا فِيْكَ
“Aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dengan maaf-Mu dari siksa-Mu, dengan-Mu (aku berlindung) dari (azab)-Mu, aku memujimu dan aku tidak dapat meraih semua apa yang ada pada-Mu.” (HR. Thahawi dalam kitab Bayan Musykil Al-Atsar, 1:104 dan Ibnu Munzir dalam kitab Al-Ausath, no. 1401, Ibnu Khuzaimah dalam kitab ShahihNya, 1:328, Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya, 5:260, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1:352, Al-Baihaqi juga meriwayatkan darinya dalam kitab As-Sunan Al-Kubra, 2:167.)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan bahwa disunnahkan merapatkan kedua kaki yaitu menempel, berbeda dengan kedua lutut dan kedua tangan. (Syarh Al-Mumthi’, 3;122)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath-Tharifi menyatakan bahwa tidak ada dalil tegas atau shahih dalam hal ini. Sedangkan hadits ‘Aisyah tentang menempelkan tumit hanyalah pemahaman sebagian perawi. Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa ‘Aisyah itu menyentuh kedua telapak kaki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini bukan berarti kedua telapak kaki beliau menempel. Namun karena menyentuh yang satu, lalu yang kedua berdekatan, maka disebut menyentuh kedua kaki. Bisa juga maknanya tangan satu menyentuh telapak kaki yang kanan, sedangkan lengan tangan menyentuh telapak kaki yang kiri.
Kesimpulan dari Syaikh Ath-Tharifi hafizahullah, biarkan kedua telapak kaki sesuai kebiasaannya tanpa bermaksud sengaja untuk merenggangkan atau merapatkannya. (Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 132-133)
Semoga bermanfaat.

Disusun di Perpus Rumaysho, 3 Rabi’uts Tsani 1439 H, Kamis pagi
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com

Cara Sholat Nabi: Posisi Tangan Saat Sedekap

Contohlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakan shalat. Saat ini kita akan lihat kembali sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mulai dari takbiratul ihram hingga perkara sedekap saat shalat.

4- Jika telah berdiri melaksanakan shalat, lakukanlah takbiratul ihram dengan mengucapkan, “Allahu akbar (artinya: Allah Maha Besar).”
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Pembuka shalat adalah bersuci, yang mengharamkan dari perkara di luar shalat adalah ucapan takbir dan yang menghalalkan kembali adalah ucapan salam.” (HR. Tirmidzi no. 238 dan Ibnu Majah no. 276. Abu ‘Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
5- Mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan pundak atau ujung telinga (cuping telinga). Mengangkat tangan seperti ini dilakukan pada empat keadaan yaitu saat:
a- Takbiratul ihram
b- Ruku’
c- Bangkit dari ruku’
d- Berdiri dari tasyahud awwal
Di antara dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, turun ruku’ dan bangkit dari ruku’ adalah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ ، وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ » . وَكَانَ لاَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِى السُّجُو
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya sejajar pundaknya ketika memulai (membuka shalat), ketika bertakbir untuk ruku’, ketika mengangkat kepalanya bangkit dari ruku’ juga mengangkat tangan, dan saat itu beliau mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah, robbanaa wa lakal hamdu’. Beliau tidak mengangkat tangannya ketika turun sujud.” (HR. Bukhari no. 735 dan Muslim no. 390).
Juga diterangkan dalam hadits Abu Humaid As Sa’idi mengenai mengangkat tangan saat bangkit dari tasyahud awwal, ia berkata,
ثُمَّ نَهَضَ ثُمَّ صَنَعَ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى إِذَا قَامَ مِنَ السَّجْدَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا صَنَعَ حِينَ افْتَتَحَ الصَّلاَةَ
Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit, kemudian ia melakukan raka’at kedua seperti raka’at pertama. Sampai beliau selesai melakukan dua raka’at, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan pundaknya sebagaimana yang beliau lakukan saat takbiratul ihram (ketika memulai shalat).” (HR. Tirmidzi no. 304 dan Abu Daud no. 963. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Hadits di atas juga sekaligus menunjukkan bahwa mengangkat tangan itu sejajar dengan pundak. Sedangkan dalil yang menunjukkan boleh mengangkat tangan hingga ujung telinga yaitu hadits,
عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فَقَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ». فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ.
Dari Malik bin Al Huwairits, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar kedua telinganya. Jika ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya juga sejajar kedua telinganya. Jika bangkit dari ruku’, beliau mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, beliau melakukan semisal itu pula.” (HR. Muslim no. 391).
6- Lalu sedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.
Dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata bahwa,
أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ كَبَّرَ – وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ – ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
Ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat dan beliau bertakbir (Hammam menyebutkan beliau mengangkatnya sejajar telinga), lalu beliau memasukkan kedua tangannya di bajunya, kemudian beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. (HR. Muslim no. 401).
Meletakkan tangan kanan di sini bisa pada telapak tangan, pergelangan atau lengan tangan kiri. Dalam hadits Wail bin Hujr juga disebutkan,
ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ
Kemudian meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, di pergelangan tangan, atau di lengan tangan kiri.” (HR. Ahmad 4: 318. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Bisa juga tangan kanan menggenggam tangan kiri (yang dimaksud pergelengan tangan kiri) sebagaimana disebutkan dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ
Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berdiri dalam shalat, tangan kanan beliau menggenggam tangan kirinya.” (HR. An Nasai no. 8878 dan Ahmad 4: 316. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
7- Saat sedekap, tangan diletakkan di pusar, bawah pusar atau di dada.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa meletakkan tangan ketika sedekap tidak pada tempat tertentu. Jadi sah-sah saja meletakkan tangan di dada, di pusar, di perut atau di bawah itu. Karena yang dimaksud mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Sedangkan yang lebih dari itu dengan menentukan posisi tangan sedekap tersebut butuh pada dalil. Meletakkan tangan di dada maupun di bawah pusar sama-sama berasal dari hadits yang dho’if. (Lihat penjelasan guru kami, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Athorifi dalam karya beliau Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 87-90).
Semoga berkelanjutan lagi pada serial berikutnya. Moga Allah mudahkan.

Referensi:

Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.
Ibhajul Mu’minin bi Syarh Manhajis Salikin, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah Al Jibrin, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1432 H.
Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Maktabah Al Ma’arif, cetakan ketiga, tahun 1424 H.
Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath Thorifi, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H.
Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Darus Salam, cetakan keenam, tahun 1424 H.
Al Muntaqo fil Ahkam Asy Syar’iyyah min Kalami Khoiril Anam, Majdud Din Abul Barokat ‘Abdus Salam Ibnu Taimiyyah Al Haroni, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1431 H.

@ Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul, diselesaikan di siang hari, 16 Jumadal Ula 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com

Fikih Shalat, Rukun, Sunnah, Tata Cara Lengkap

Berikut ini kami sajikan kumpulan artikel fikih shalat dengan pembahasan yang terperinci pada masing-masing bahasannya. Kumpulan artikel yang ada memang belum membahas lengkap masalah shalat dari A sampai Z, terutama pada bahasan sifat shalat, namun daftar artikel ini akan terus di-update seiring bertambahnya artikel fikih shalat di Muslim.Or.Id. Semoga halaman ini mempermudah pembaca sekalian dalam mempelajari ilmu fikih seputar shalat.

Adzan

Seputar Shalat

Sifat Shalat

Sujud Sahwi

Khusyu’

Beberapa Kesalahan Dalam Shalat

Fatwa-Fatwa